Pertunjukan Sintren diawali lantunan lagu-lagu dari Majalengka oleh kelompok musik di atas panggung. Di depannya, dua perempuan menari berhadapan dengan penonton. Perhatian penonton seketika beralih manakala pawang pertunjukan, Kang Darto, mengambil seorang gadis dari kerumunan penonton untuk dilibatkan dalam pertunjukan.

Kang Darto kemudian menghipnotis gadis tersebut hingga tak sadarkan diri. Tubuhnya direbahkan dengan dibungkus kain kafan berlapis tikar. Doa-doa dirapal oleh pawang, hingga ketika tikar dibuka, gadis tersebut tidak ada di dalamnya, melainkan pindah ke dalam kurungan ayam di dekat gulungan tikar. Mata penonton pun terkesima manakala kurungan ayam dibuka. Gadis berambut panjang yang semula berpakaian biasa, berubah menggunakan kostum penari. Kacamata hitam kemudian disematkan untuk menutupi matanya yang merem karena masih tak sadarkan diri. Gadis ayu ini menjadi tokoh utama pertunjukan yang berperan sebagai penari Sintren.

“Ada filosofi kehidupan dalam pertunjukan Sintren ini, yakni menggambarkan siklus kehidupan manusia yang akan mati, disimbolkan dengan kain kafan. Setelah mati, tubuhnya dimasukkan ke dalam kubur, disimbolkan dengan kurungan ayam,” kata Kang Darto yang juga merupakan Ketua Sanggar Sekar Laras.

Catatan pentingnya, peran penari harus dibawakan gadis yang masih perawan sebagai simbol kesucian. Maknanya, perempuan yang bisa menjaga kesucian di dunia, akan menjelma menjadi bidadari di akhirat. Kelompok Sekar Laras ingin menekankan bahwa manusia yang berbuat baik di dunia, balasannya adalah surga. Sebagai klimaks, tubuh penari yang tidak sadarkan diri kerasukan penguasa Pantai Utara, Dewi Lanjar. Dalam cerita Jawa dikisahkan, ada seorang gadis dengan nama Dewi Sulasih yang berpacaran dengan Pangeran Sulondono. Namun, cinta keduanya tidak direstui orangtua. Dewi Sulasih kemudian menjelma menjadi penari pertunjukan demi bisa bertemu dengan Pangeran Selondono yang datang sebagai penonton, hingga tubuhnya dirasuki Dewi Lanjar. “Hingga kini, masyarakat Majalengka masih percaya bahwa Dewi Lanjar bisa datang ke pertunjukan yang digelar untuk merasuki penarinya,” imbuh Kang Darto. \

Dalam pertunjukan penari yang kerasukan kemudian bangun dan menari dengan lincah. Penonton lantas dilibatkan dengan memberi saweran. Saat dilempar uang, penari kembali tidak sadarkan diri beberapa detik, sebelum menari kembali. Penonton pun berebut melempar saweran hingga penari Sintren jatuh bangun. Kang Darto kembali membuktikan adanya Dewi Lanjar yang merasuki tubuh penari dengan memasangkan penutup mata berupa kain melingkar di kepala. Tak cukup puas, kepala penari kemudian ditutup seluruhnya menggunakan bungkus hitam.

Penonton kembali diajak masuk ke arena pentas untuk menguji kesaktian penari. Mereka menunjukkan jumlah jari yang bisa ditebak penari dengan benar, meski matanya tertutup rapat. Penonton kemudian menantang penari untuk mengikuti gerakannya. Ternyata, penari tersebut bisa mengikuti goyangan penonton dengan baik. Penasaran, penonton lain bergantian menguji dengan gerakan lebih sulit, namun penari tetap bisa mengikuti meski seluruh wajahnya terbungkus kain.

Melalui pertunjukan ini, Kelompok Sekar Laras ingin menyampaikan sejumlah pesan kepada masyarakat Selain kematian yang membuat manusia menghadap Tuhan YME tanpa membawa apapun kecuali kain kafan, manusia juga diminta mengisi hidupnya dengan kebaikan. Penari yang pingsan saat disawer penonton, menggambarkan kehidupan manusia yang kerap digelapkan uang saat menuruti hawa nafsu. “Dalam pertunjukan aslinya, penari bahkan diminta berjalan di atas api dan sebaran beling untuk membuktikan bahwa dia tidak sadarkan diri,” kata Kang Darto.

Pertunjukan Sintren, sebelumnya adalah permainan rakyat yang ditonton penjajah Belanda. Mereka kemudian berujar she trance yang artinya perempuan tidak sadarkan diri. Semula, Sintren adalah permainan anak-anak. Namun karena digemari, para seniman kemudian mengolahnya menjadi sebuah pertunjukan