Siapa yang
tidak bangga terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari sekian
banyak Negara yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian tari yang
sangat beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku memiliki seni
tari yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah mereka sendiri.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Akan tetapi, saat
ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi dengan baik dari
generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan zaman, hampir
mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni tari yang sudah
hampir punah adalah kesenian sintren.
Dari segi
asal usul bahasa atau etimologi, “sintren” merupakan gabungan dua suku kata
“Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren”
berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15). Sehingga
Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi objek pemeran utama dalam pertunjukan
kesenian sintren ini.
Sintren
merupakan tari tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini diantaranya di Indramayu,
Cirebon, Majalengka, Jati Barang, Brebes, Pemalang, Banyumas dan Pekalongan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian sintren ini
sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari
permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau
dewa, agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.
Asal mula
munculnya kesenian ini, tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar
belakangi kesenian ini. Namun, ada dua versi berbeda yang menceritakan asal
mula sintren. Versi yang pertama, menceritakan tentang kisah percintaan Ki Joko
Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke
Batavia dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah
dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak lama
terdengar kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga
Rantamsari begitu sedih mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati.
Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha
melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai
utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi
Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena
kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka
Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan
bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah
kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi
Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Versi yang kedua menceritakan
tentang Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau
dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R.
Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono
diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu
tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa
bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada
setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.
Tepat pada
saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan
rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R.
Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu
tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit
Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono
melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih
“trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada
saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan
ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan
keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Untuk
menjadi seorang sintren, persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih
gadis dan perawan. Hal ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci
dan penari sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum
menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini
dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan berpuasa
otomatis si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan menjaga
tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak menyulitkan
bagi roh atau dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada beberapa
istilah dalam kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu tahapan
menjadikan sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon penari
sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari
(Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren
didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para
dayang/cantrik.
Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon
penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan
mantra, selanjutnya calon penari sintren diikat dengan tali yang dililitakan ke
seluruh tubuh.
·
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam
sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah.
Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan
terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.
·
Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah
jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren
sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren
melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari.
Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh
berhenti.
Istilah yang
kedua adalah balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat penari
sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah
penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan.
Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan
penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah
penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari
sintren dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang melemparkan uang
tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian
yang terakhir adalah istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan
nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih
berupa uang ala kadarnya.
Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya
pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan
dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan
massa atau penonton. Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak
tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul”
mantra ini untuk memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan
mantra tersebut hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan
untuk memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu
kembang yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan
nira”. Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan
akan dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate,
dituku disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat yang
digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini di maksudkan
agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas antara penonton
dengan penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren ini umunya
lebih komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan penonton.
Bisa dibuktikan pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton
dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari
setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang menari
biasanya didampingi dengan penari pendamping dan seorang bodor atau pelawak.
Lagu-lagu
yang dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan
alat yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan
nampah, namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music
yang digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana yang
digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) . Busana
kebaya ini lebih banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai
busana keseharian. Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan busana golek
yang lebih nyentrik.
0 Komentar