1.
Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan
kesenian sintren berlangsung.
2.
Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa
dipergunakan dalam tari golek.Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.
3.
Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang
panjangnya hanya sampai lutut.
4.
Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang
biasa dipakai untuk mengikat sampur.
5.
Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di
pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau
diletakkan didepan.
6.
Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan
untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
7.
Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian
tradisional lain khususnya di Jateng.
8.
Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena
selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga
sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik
penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren.
Persamaan
pertunjukan zaman dahulu hingga sekarang adalah, terkadang pertunjukan kesenian
ini bisa juga di butuhkan untuk memeriahkan hajatan perkawinan atau sunatan.
Perbedaannya pada saat ini adalah, waktu pertunjukan sintren semakin singkat
dan terkadang ada yang memanipulasi pertunjukan, yang artinya pertunjukan sudah
tidak melibatkan roh lagi. Selain itu, saat ini pertunjukan sintren yang
diadakan akan dicampur dengan music dangdut atau orkes, mungkin hal ini
dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton yang lebih banyak.
Dalam masa
era globalisasi saat ini, sulit sekali kita menemukan pertunjukan sintren,
bahkan di daerah asalnya sendiri pun sangat sulit kita bisa menemukan grup yang
menyajikan khusus sintren yang original. Saat ini orisinalitas sintren sudah
tidak seperti dulu, karena sudah dicampur dengan music-musik lain terutama
dangdut. Hal ini bisa saja, sintren dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman
yang ada, meskipun sisi orisinalitas tidak lagi penting untuk diperhatikan.
Dalam
pertunjukan saat ini juga, banyak dari grup yang menampilkan kepura-puraan
dalam pertunjukannya. Misalnya, ada yang berpura-pura kerasukan, lalu mantra
yang dibacakan terkadang tidak sungguh, sehingga tidak mengeluarkan nuansa
magis sedikitpun. Adapula yang menjadi penari tidak benar-benar gadis, meskipun
penampilannya muda dan menarik. Bahkan pakaian yang ditampilkan oleh pendamping
sintren/ dayang menggunakan pakaian yang modern.
Orang yang
turut melestarikan kesenian ini juga sangat terbatas. Masyarakat Indonesia saat
ini umumnya lebih mengedepankan moderenitas dalam gaya hidup mereka tetapi
tidak memikirkan bagaimana moderenitas itu bisa mengangkat kebudayaan mereka
sendiri. Bisa saja pertunjukan sintren ditampilkan dalam suasana yang lebih
modern, misalnya dalam festival kebudayaan, seminar pelestarian kesenian
sintren, atau mengadakan event yang menampilkan kesenian sintren.
Kesenian
sintren ini sudah termasuk kesenian yang langka. Bahkan di daerah asalnya
sendiri kita sulit menemukan grup sintren. Sungguh beruntung sekali orang yang
pernah menyaksikan kesenian ini secara langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di masa
globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren. Jangan
sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian menjadi
objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan terhadap
kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian sintren, semua
akan berjalan dengan baik.
Namun, kita
tidak perlu khawatir akan kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi. Dari
sekian juta lebih masyarakat Indonesia, ternyata masih ada yang mau
melestarikan kesenian ini. Di tahun 2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam
sebuah film local berjudul sintren oh sintren.Film produksi Sindoro
Multimedia Studio’s tersebut menceritakan tentang keinginan seseorang untuk
menghidupkan kembali tradisi kesenian sintren. Di film tersebut membandingkan
betapa music dangdut lebih diminati daripada kesenian sintren. Meskipun banyak
kontrovesi tentang pemutaran film ini, yang terpenting adalah masih ada orang
kreatif yang mau membuat kesenian ini dikenal oleh generasi lainnya. Dan mau
menjadi bagian untuk melestarikan kesenian ini.
Selain itu,
dalam festival budaya di Cirebon, kesenian ini sering ditampilkan. Atau di
festival budaya di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi, dan Karawang. Di
Cirebon sendiri, hanya tersisa dua grup sintren yang masih eksis saat ini,
masing-masing adalah pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju. Meskipun hanya tersisa
sedikit, setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya.
Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian
Indonesia. Jangan lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah
kesenian dan budaya yang lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini,
Indonesia. Kalau bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang
unik ini? Siapa lagi?.
0 Komentar