Beranjak ke peraduan petang
Purnama mengintip malu-malu di balik awan
Gemintang mengerling genit
Menyambut sang dewi malam

Tetabuhan bertalu
Mengiring gerak gemulai penari
Sang bidadari berkacamata
Berlenggang, melenggok
Merayu sang petang

 ASAL-USUL

         Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya Jawa tengah. Kesenian ini terkenal di pesisir utara antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan lingkup daerahnya antara lain Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang.

Ada beberapa arti Sintren bila kita lihat menurut etimologinya:
1. Sintren berasal dari kata sinyo yang berarti pemuda, dan trennen yang artinya latihan.
2. Sintren berasal dari kata sesantrian karena meniru perilaku dan cara berpakaian seperti santri
3. Sintren berasal dari bahasa Inggris She in trance, yang berarti penari perempuannyang sedang kerasukan.

Dari arti kata di atas, dapat kita ambil kesimpulan kalau Sintren adalah suatu pertunjukan tari yang bersifat magis karena penarinya akan kerasukan, dan mungkin juga meniru cara berpakaian seorang santri, dan yang pasti penari haruslah seseorang yang masih gadis.
            Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang gadis dari desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
            Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).

BENTUK PERTUNJUKAN

            Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton.

Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul
wong nontone pada kumpul.


Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren.

Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana


            Tak lama kemudian masuk seorang pawang dengan membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain yang melambangkan bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik.
Pawang segera menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahap:

            Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh.

             Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.
Saat Sintren berada dalam kuringan juru kawih terus berulang-ulang menembangkan syair :

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur.
             Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang), kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam. Sintren siap menari bahkan adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari.
Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.

             Tahap keempat adalah Balangan dan Temohan Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra, kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi. Sedangkan temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya.

            Setelah uang terkumpul dan diperkirakan waktu sudah cukup panjang penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari). Pawang yang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana sintren dikeluarkan. Setelah kurungan bergoyang tanda penari sudah berganti pakaian, kurungan dibuka, penari sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai sintren sadar kembali.


TEMPAT DAN WAKTU PERTUNJUKAN

            Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Maksudnya berupa arena pertunjukan yang tidak ada batas antara penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Hal ini dimaksudkan agar lebih komunikatif pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan pada penari sintren.

             Awalnya pergelaran sintren disajikan pada waktu malam bulan purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam kliwon, karena dikandung maksud bahwa sintren sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menyatu dengan penari sintren. Namun demikian pada saat sekarang ini pertunjukan sintren dapat dilaksanakan kapan saja baik siang atau malam hari.

BUSANA

               Busana yang digunakan penari sintren pada saat datang hanya kebaya dan kain. Kemudian ketika keluar dari kurungan penari mengenakan busana yang biasa mereka sebut dengan busana golek.
Adapun macam-macam busana yang lain sebagai pelengkap busana penari sintren adalah sebagai berikut:

Baju Golek, yaitu pakaian yang biasa dipakai oleh penari golek berupa kebaya tanpa lengan.
Kain atau jarik batik, yang dipakai sebagaimana biasa perempuan jawa memakainya. Sabuk, tempat untuk menggantungkan sampur atau selendang.
Sampur atau selendang yang dililitkan di pinggang sebagai alat untuk menari. Jamang, yaitu perhiasan kepala semacam topi yang dihiasi untaian melati di kiri kanan telinga sebagai koncer.
Kaos kaki
kacamata hitam yang berfungsi sebagai penutup mata pada saat trance

bidadari itu telah melepaskan kacamata hitamnya
beranjak pergi ke pangkuan pagi
bersama sang kinasih
bersama tetabuhan gamelan jiwa membahana

lestarilah bidadari
jadikan nusantara ini rumahmu
simpanlah nusantara ini dalam hatimu
agar jangan lagi hilang
tertelan waktu atau pun pergi
ke lain ladang