Pernah mendengar kesenian sintren? Kesenian sintren adalah salah satu
kesenian rakyat pesisir, tepatnya di sekitar jalur pantura (PANTai UtaRA)
antara Indramayu dan Cirebon. Kesenian ini konon semula mulai dikenal pada awal
tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun
katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam
pertunjukan ini.
Asal mula lahirnya sintren sendiri adalah sebenarnya sebagai permainan
dikala petang kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah
mereka pulang dari mencari ikan di laut.. Permainan sintren itu terus dilakukan
hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka,
maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu
para nelayan pulang. Tapi pada perkembangannya kesenian ini kemudian dijadikan
sebagai objek mencari nafkah untuk seniman yang tidak melaut. Mereka
berkeliling kampung mementaskan kesenian ini dengan mengandalkan saweran dari
para penonton.
Kesenian Sintren yang tak lagi sekedar permainan ini digawangi oleh
beberapa awak yang terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan
beberapa gamelan seperti buyung (sebuah alat musik pukul yang menyerupai
gentong terbuat dari tanah liat), rebana, dan waditra lainya seperti , kendang,
gong, dan kecrek dan tentu saja pemain sintren itu sendiri. Sebelum dimulai,
para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang
penonton.
Syairnya begini :
Tambak tambak pawonIsie dandang kukusan // Ari kebul-kebul wong
nontone pada kumpul. // (Tambak-tambak dapur // Isinya dandang
kukusan // Kalau ada kebul-kebul yang nonton pada kumpul)
Syair tersebut
dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk
menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai
melantunkan syair berikutnya:
Turun sintrén, sintréné widadari // Nemu kembang yun ayunan
// Nemu kembang yun ayunan // Kembangé si Jaya Indra // Widadari
temurunan // Kang manjing ning awak ira // Turun-turun sintrén
// Sintrené widadari // Nemu kembang yun ayunan // Nemu kembang
yun ayunan // Kembangé si Jaya Indra // Widadari temurunan
// Kembang katés gandul // Pinggiré kembang kenanga // Kembang
katés gandul // Pinggiré kembang kenanga // Arep ngalor arep ngidul
// Wis mana gagéya lunga // Kembang kenanga // Pinggiré kembang
melati // Kembang kenanga // Pinggiré kembang melati // Wis mana
gagéya lunga // Aja gawé lara ati // Kembang jaé laos
// Lempuyang kembangé kuning // Kembang jaé laos // Lempuyang
kembangé kuning // Ari balik gagé elos // Sukiki menéya maning
// Kembang kilaras // Ditandur tengaé alas // Paman-bibi aja
maras // Dalang sintrén jaluk waras…
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia.
Yang konon haruslah seorang gadis, karena kalau Sintren dimainkan oleh wanita
yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas. Kemudian sintren
diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara logika,
tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu
Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain,
setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua
orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap
kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
Gulung gulung kasa // Ana sintren masih turu // Wong nontone
buru-buru // Ana sintren masih baru
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam
keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, anehnya sang sintren telah
berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam. Saya sendiri kurang begitu tahu
kenapa atribut kaca mata hitam ini selalu disertakan dalam tiap pertunjukan
sintren. Setelah itu sang sintren pun akan menari. Tarian sintren sendiri lebih
mirip orang yang ditinggalkan rohnya. Terkesan monoton dengan gesture yang kaku
dan kosong. Dan disinilah uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari,
para penonton akan melemparkan uang logam ke tubuh sang penari. Ketika uang
logam itu mengenai tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan dan baru akan
bangun kembali setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang.
Setelah bangun kembali, sang penari sintren pun akan meneruskan kembali
tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam yang mengenai
tubuhnya. Dan konon, ketika menari tersebut, pemain sintren memang dalam
keadaan tidak sadar alias keraksukan. Misteri ini hingga kini belum terungkap,
apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar
untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Terlepas dari ada
tidaknya unsur magis dalam kesenian ini, tetap saja kesenian ini cukup menarik
untuk disaksikan.
Bagi anda yang tertarik ingin mementaskan kesenian ini di daerah anda,
setidaknya di Cirebon ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif,
masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos
Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua
kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan
hingga ke luar negeri.
0 Komentar