Sintren dalam Perspektif Budaya dan Agama Islam

CIREBON - Budayawan Cirebon, Bambang Irianto mengaku tidak sepakat jika kesenian tari sintren mengandung unsur mistis. Menurut dia, hal-hal berbau mistis itu tidak ada, dan murni hanya sebagai sarana hiburan rakyat saja.

"Jadi, begini, kalau ada orang yang bilang saat ia bermain sintren, lalu dimasukin oleh sosok bidadari itu, sebenarnya tidak benar. Itu cuma rahasia 'perusahaan', " kata Bambang kepada Okezone, Jumat (22/3/2019).
Menurutnya, semua elemen yang ada pada kesenian sintren, sebenarnya hanya sebuah simbol belaka. Masyarakat kata dia, boleh saja menafsirkan sendiri simbol-simbol tersebut.

"Kesenian itu kan bersifat netral, tergantung orangnya menafsirkan untuk kebutuhan apa," ujarnya.

Sejarah kesenian sintren sendiri menurut Bambang masih menyisakan misteri. Sebab, jika berbicara tentang sejarah, maka setidaknya harus ada sesuatu yang membuktikannya, baik itu berupa catatan atau benda-benda peninggalan di zaman itu. Menurutnya, sintren pada awalnya, merupakan sarana hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara.

"Sintren berjalan begitu saja. Awalnya hanya sebagai sarana hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara," tutur Bambang.
Lantas, bagaimana agama Islam memaknai kesenian sintren ini?. Ulama sekaligus pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Buntet Cirebon, KH Adib Roffiudin menjelaskan, secara syariat, kesenian sintren sejatinya tidak melanggar. Sebab, seni tari itu hanya menjadi sarana hiburan masyarakat semata.

"Secara adat sintren ini tidak melanggar syariat, karena hanya menjadi tanggapan (hiburan) masyarakat," kata Kiai Adib.

Senada, Dekan Fakuktas Ushuludin, Adab, dan Dakwah (FUAD) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Hajam menyebut bahwa integarsi antara agama dan budaya tercermin dalam kesenian sintren.

Menurutnya, pada era penyebaran Islam oleh para Wali Songo, kesenian sintren ditampilkan sebagai hiburan rakyat dengan nilai-nilai Islam yang sudah dimasukkan ke dalamnya.

"Para wali dulu, budaya dan seni tidak dihilangkan. Tapi bersikap familiar. Ini yang disebut sebagai islamisasi kultur atau islamisasi budaya," kata Hajam.

Ketika ada segelitir orang yang mengatakan kalau kesenian sintren itu musyrik, Hazam justru memiliki pandangan berbeda. Ia secara gamblang menyebut, kesenian sintren tidaklah musyrik, karena musyrik sendiri artinya percaya atau meyakini sesuatu selain Allah SWT. Meski konon disebutkan bahwa atraksi sintren turut melibatkan hal-hal bersifat 'gaib'.
"Sebenarnya tidak musyrik. musyrik sendiri artinya percaya atau meyakini sesuatu selain Allah. Sintren itu kan hanya kesenian," tuturnya.

Menurut Hajam, banyak sekali elemen sintren yang mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam. Di antaranya, bentuk kurungan ayam yang melengkung. Hal ini bermakna bahwa fase hidup manusia ialah dari bawah akan berusaha menuju puncak.

"Namun setelah berada di puncak, ia akan kembali lagi ke bawah, yakni dari tanah kembali menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah nantinya kembali lagi keadaan yang lemah pula," kata Hajam menandaskan.

Menurut informasi yang dirangkum Okezone dari berbagai sumber, nama sintren sendiri berasal dari dua suku kata, yakni kata sindir dan tetaren. Dua kata tersebut memiliki arti, menyindir menggunakan syair-syair sajak.

Awalnya kegitan, ini merupakan aktivitas pemuda, yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain, khususnya, setelah kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818.
Ada juga yang menyebut, kalau kata sintren berasal dari dua kata si dan tren, yang artinya adalah 'ia putri', maknanya sebenarnya yaitu, yang menari bukan lah si penari sintren, tapi roh seorang putri.

Dalam versi ini, sintren sendiri mengisahkan, soal kisah percintaan Ki Joko Bahu dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung, sang Raja Mataram. Kemudian, karena tak diberi restu, akhirnya Ki Joko Bahu dan Rantamsari dipisahkan.

Saat hendak dipisahkan, tersiar kabar jika Ki Joko Bahu meninggal. Akan tetapi, Rantamsari tetap mencari kekasihnya dengan menyamar sebagai penari sintren, karena merasa tidak percaya. Kesenian sintren pun hingga kini masih tetap lestari dan kerap dipertunjukkan di kampung-kampung saat acara tertentu seperti hajatan pernikahan, khitanan dan sebagainya.

Sumber: https://www.google.com/amp/s/news.okezone.com/amp/2019/03/23/525/2033885/sintren-dalam-perspektif-budaya-dan-agama-islam